Sabtu, 30 Maret 2013
Sikap merendah tanpa menghinakan diri –merupakan sifat yang sangat terpuji di
hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahkah kita
memilikinya?
Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji
di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang yang
mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji
ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’ adalah
ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika
suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada
di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan
dirimu.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang
sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasululllah mendefinisikan sombong dengan
sabdanya:
”Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh
orang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud
ra).
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka
menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki
benih sifat sombong.
Tahukah anda apa yang diperbuat Allah SWT terhadap
Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan
tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada
seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah SWT karena
tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan
dirinya.
Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran
Menerima dan tunduk di
hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’ adalah sifat terpuji yang akan
mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan akan
menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman:
”Negeri
akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan
berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Qashash:83)
Fudhail bin Iyadh ra (seorang ulama generasi
tahiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: Ketundukan kepada kebenaran
dan memasrahkan diri kepadanya serta menerima dari siapapun yang
mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329).
Rasulullah saw
bersabda:
”Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak
akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah
seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.”
(Shahih, HR Muslim, no. 556 dari shahabat Abu Hurairah ra)
Ibnul Qayyim
ra dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata: ”Barangsiapa yang angkuh untuk
tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang
dimarahinya atau yang memusuhinya maka kesombongan orang tersebut hanyalah
kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya haq, agamanya
haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa
menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang
datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
Perintah
untuk Tawadhu
Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan
bersandar kepada firman Allah SWT:
”Sungguh telah ada bagi kalian pada
diri Rasul teladang yang baik.” (Al Ahzab:21)
Dalam hal ini banyak ayat
yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah tersebut
untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah SWT berfirman:
”Dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimi yaitu orang-orang yang
beriman.” (Asy-Syu’ara:215)
Rasulullah saw bersabda:
”Sesungguhnya
Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang
tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang
lain.” (Shahih, HR Muslim no 2588).
Demikianlah Rasulullah saw
menginngatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan
dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia
sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan
memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
Macam-macam
Tawadhu’
Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ii dalam
karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain
atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi
tawadhu’menjadi dua:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’an
seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba
Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada
pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin,
1/657).
Wallahua’lam.
Artikel dari Al-Ustadz Abu Usamah bin
Rawiyah An-Nawawi, diambil dari majalah Asy-Syariah, no. 05/1/Jumadil Akhir 1424
H/Agustus 2003/hal. 48-49. Http://www.majalahAsysyariah.com
Copyright ©
2025
Moonlight
| Powered by
Blogger
Design by
Flythemes
| Blogger Theme by
NewBloggerThemes.com
0 komentar :
Posting Komentar