Assalamu'alaykum para mahasiswa yang katanya aktivis tapi IPK tivis!!
Bismillah..
Kali ini gue pengen ngoceh tentang hal yang penting gak penting sih.. Seorang aktivis dan IPK-nya !
Aktivis. Organisatoris.
Identik dengan sibuk rapat, syuro, agenda ini itu. Hampir waktu sore itu udah gak ada. Berangkat pagi pulang pagi. Akhirnya keseringan nge-lost dikelas. Gak konsen sama dosen. Apalagi belajar lagi. Kayanya gak ada. Paling belajar menjelang UTS dan UAS. Miris. (Gue termasuk kayanya, wkwk).
Tapi, gua salut sih, bangga malah, dengan mereka para aktivis yang gak hanya memikirkan diri sendiri, tapi orang lain. Karena memang gak ada sebuah lembaga kemahasiswaan berdiri untuk menyengsarakan orang lain, gak ada. Tujuannya semua untuk memberi kebermanfaatan, meningkatkan minat-bakat orang lain, dsb. Wajar sih kalau sulit memanajemen waktu antara kuliah, belajar, dan organisasi. Tapi, disitulah titik ujiannya. Kuliah terdepan, rajin ngerjain tugas, organisasi jalan, keren gak tuh? Banget. Waktu mudanya bermanfaat banget dah tuh. Ditambah ilmu agama gak ketinggalan, sering dateng kajian, rajin baca Al-Quran. Cakep udah.
Tapi, masalahnya adalah, sebagian besar aktivis tidak sadar bahwa amanah orang tua itu nomor 1, mengabaikan kuliahnya dan berimbas pada IPK atau nilai akhir mereka sendiri. Tivis boy. Banyak mata kuliah yang ngulang lah, nilainya nge-pas kkm, atau ada yang belagu kaya gue wkwk udah lulus tapi gak merasa puas terus ngambil matkul itu lagi tapi malah jadi gak lulus, miris, akhirnya ngulang untuk ke-2 kalinya. Ini aib sih. Tapi gpp, buat pelajaran kalo jadi mahasiswa gak usah sok-sok an, syukuri aja nilai yang udah jelas-jelas lulus.
Oke next.
So, IPK, penting gak sih?
Suatu indeks prestasi yang kedatangannya ketika akhir semester mendadak horror. Sebuah nilai yang menandakan sebenarnya kalian itu oon atau pinter paham atau tidak dengan ilmu yang selama ini dipelajari.
Dibilang penting, emang iya. Karena, selain untuk tolak ukur kelulusan kita di dunia perguruan tinggi, juga buatlah orang tua kita bangga karena anaknya menjadi teladan di kelas. Bisa mengajarkan kawan-kawannya mata kuliah yang sulit. Itu baru top. Kebermanfaatannya nyampe. Apalagi aktivis di lembaga dakwah. Gue rasa udah paham betul urgensi menuntut ilmu, urgensi berbakti pada orang tua, urgensi menjadi manfaat bagi orang lain. Salah satu strategi terkecil adalah ya menjadi panutan di kelas. Selain kita jadi pinter, kita juga bisa mengajak mereka mendekat pada Allah. Lebih ngena. Lebih nyampe. Insya Allah.
Dibilang gak penting? Salah sih. Dengan alasan apapun. Ada yang bilang;
biarin nilai jelek yang penting paham.
Mana ada orang paham nilainya jelek? Insya Allah kalau paham ya nilainya pasti bagus, kecuali jelek karena hal-hal teknis karena lu gak teliti. Itu beda lagi, takdir lain, ujian keimanan yang berbeda, ujian ketegaran. Fyuh.
Gak usah muluk-muluk, yang penting lulus.
Ini nih yang kebanyakan jadi sandaran para aktivis. Lulus aja udah syukur. Ya gak masalah sih. Suka-suka lu aja. Targetannya rendah banget tapi bos. Yang penting lulus itu adalah targetan tingkat bawah sejagad raya kalo kata kawan saya. Di organisasi target lu tinggi, kenapa buat nilai sendiri gak bisa? Inget poinnya ya, untuk kebermanfaatan. Bukan meninggikan diri sendiri. Apalah kita.
Nilai bagus tapi dari nyontek, buat apa? Mending pas-pas an tapi hasil sendiri.
Mendingan hasil sendiri dan nilai bagus lah. Walaupun sulit, tapi kita tetap harus mengusahakannya. Jangan bilang gak ada waktu buat mikirin mata kuliah. Santai aja bos. Ada Allah. Waktu bukan masalah. Tapi kitanya yang belum bisa berdamai dengan diri kita sendiri. Masih terlalu carut-marut dengan spekulasi pribadi.
Akhi, ukhti.. IPK jangan tivis yah. Yaa minimal 3.00 lah :D Sedih lah kita kalo orang lain memandang kita dapet IPK jelek karena "jadi aktivis". :(
Dakwah itu penting. Coba jadikan IPK itu adalah salah satu bagian dari dakwah, maka ia menjadi penting. :)
"Orang yang hatinya hidup, yang menaklukan masa lalu dan masa depan, bisa melampaui batasan-batasan waktu. Orang-orang seperti ini tidak pernah terlalu tertekan oleh duka-cita masa lalu atau terlalu cemas dengan masa depan."
- M. Fethullah Gulen
(Majalah Mata Air)